Jumat, 27 Mei 2016

Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan
TENTANG ZIARAH WALISONGO
Saya pernah ditanya: “Bib, keistimewaannya ziarah walisongo apa?”, saya jawab: “Isin (malu, red.)!” Jawaban saya masih dikejar: “Lho, bukannya istimewanya ada pada berkah (mencari berkah, red.)”. “Bukan. Terlalu tinggi itu buat saya.” Tandas saya.
Anda lihat, Sunan Ampel misalnya, sudah berapa ratus orang yang berdzikir di makam beliau tiap hari? Makam Sunan Kalijaga, berapa ratus orang yang sudah menyebut nama Allah di sana tiap malam? Sunan Muria, sudah berapa ribu orang yang membaca Quran dan membaca shalawat di sana (Muria)? Saya sendiri saja masih susah mengajak anak-anak sehabis maghrib untuk berkumpul dan memperkenalkan ajdad (leluhur), berdoa, berdzikir, dan membaca Quran. Bagaimana bisa seramai di makam para auliya` Allah Walisongo? Padahal mereka sudah wafat ratusan tahun yang lalu, dan saya masih hidup. (Baca: Dengan Shalawat Menjaring Rahmat)
Berziarah, selain melahirkan budaya malu seperti tadi, seharusnya berfungsi memperkenalkan siapa yang ada di makam tersebut kepada anak-anak kita. Seharusnya bukan Walisongo saja, tapi perkenalkan juga siapa Kiai Sentot Prawirodirjo, siapa Kiai Diponegoro, siapa Jenderal Sudirman, karena kita semakin lupa dengan para pahlawan negeri ini. Lihatlah bendera kita, merah putih, ia berdiri tegak bukan secara gratis! Ada darah dan nyawa para pahlawan yang harus dibayar untuk “membeli” bendera itu. Coba kita kenalkan para pahwalan itu setiap habis maghrib. (Baca: Ulama Sodoqun dan Ulama Solihun)
Ibarat kita sudah merdeka ini, seperti ada hidangan di meja di depan kita dan kita tinggal melahapnya saja. Tapi bukannya melahap, eh malah sibuk ribut sendiri, saling sikut, mau diadu domba. Makam Sunan Ampel saja, yang sudah wafat ratusan lalu, masih sanggup mempersatukan masyarakat sekarang yang masih hidup. Pintu makam selalu dibuka, semua orang dapat menziarahi, apapun warna kulitnya, apapun partainya, dan di kanan-kiri banyak orang berjualan, pendapatan mereka bertambah, ada pekerjaan yang dapat menyambung hidup mereka. Muka kita mau ditaruh dimana, wong orang yang sudah mati saja masih bisa begini, tapi kita yang masih hidup tidak bisa apa-apa? (RA)

Selasa, 24 Mei 2016

Manusia Mahluk Langit

Manusia Mahluk Langit

Manusia diciptakan dalam rangka menjembatani kekuasaan Tuhan dengan alam ciptaanNya. Manusia diberi pengetahuan yang luas untuk menjadi wali di muka bumi. Ilmu manusia lebih sempurna dibanding golongan malaikat maupun jin. Dengan ilmunya  manusia seharusnya mengembangkan sistem yang kuat dalam menjaga keseimbangan atau keutuhan alam dunia. Namun dalam perjalanan hidupnya manusia banyak yang tidak memperdulikan tujuan hidupnya. Keserakahan dan irihati menjadi problem yang membuat manusia jatuh ke lembah kehancuran.

Manusia yang sadar akan kekhalifahannya akan berjuang sekuat tenaga agar memperoleh derajat yang paling tinggi. Aturan-aturan yang datang dari Tuhannya akan dijalankan dan segala sesuatu yang dilarang akan ditinggalkannya. Mereka melepaskan egoisnya dan mengembangkan sifat kesyukurannya sehingga apa yang ia perbuat hanyalah pengalihan dari tangan-tangan Tuhan.

Pada akhirnya manusia akan dimintai pertanggungjawabannya selama ia memimpin di muka bumi. Manusia akan di kumpulkan di padang yang luas dengan suasana mencengkam. Seluruh keburukannya akan nampak dan menjadi beban yang sangat menakutkan. Hujan siksaan mengiringi tangis dan jeritan yang dahsyat. Mereka itulah orang-orang yang menjadikan bumi tempat tujuan hidup, takut kehilangan harta dan kesenangan di alam dunia. Dan mereka gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai manusia sehingga akan ditempatkan dalam jurang api neraka.
Orang-orang yang sukses menjalankan tugasnya sebagai wali Allah, mereka menghasilkan hidup yang damai, penuh dengan lingkaran ibadah sehingga alam semesta tunduk kepadanya. Mereka tidak memperdulikan dirinya, segala cacian dan pujian yang menerpa, beban derita dan kesenangan tidak menghalangi rasa syukur atas anugerah Tuhannya. Mereka akan naik setahap demi setahap dari langit yang satu ke langit di atasnya sampai ketingkat makam malakut dan bahkan ilahiyah. Maka sebenarnya manusia itu adalah mahluk langit.